Megawati: BLT Bikin Masyarakat Bermental Pengemis
Kupang - Rencana pemberian Bantuan langsung Tunai (BLT) ke masyarakat miskin ditentang oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Alasannya bikin masyarakat bermental pengemis.
"BLT itu malah membuat masyarakat bermental pengemis dan orang jadi menengadahkan tangan saja," ujar Megawati dalam jumpa pers di hotel T-More, Kupang, NTT, Jumat (16/3/2012).
Menurut Mega, jumlah uang BLT yang dibagikan juga tidak sebanding dengan biaya kebutuhan yang semakin meningkat.
"Pada BLT yang dulu, coba bayangkan Rp 150 ribu per kepala keluarga per 9 bulan. Saya melihat efek yang tidak jelas dan tidak baik (dari BLT)," kritiknya.
Mega juga menuturkan, penolakan terhadap BLT membuat banyak pihak mengatakan dirinya tidak memikirkan nasib rakyat. Namun menurutnya, pemberian BLT seringkali disalahgunakan oleh penerimanya.
"Ketika saya pulang ke daerah saya (Blitar), saya heran banyak motor baru digunakan anak muda. Ketika saya tanya ternyata uang BLT digunakan sebagai DP (down payment)," kisahnya.
"Kemudian jika mereka tidak sanggup membayar cicilan ya dikembalikan (motornya). Jadi yang berpikir pragmatis sebenarnya siapa?" cetusnya.
Memang pemerintah berencana menaikkan harga BBM subsidi 1 April 2012 sebesar Rp 1.500. Sebagai kompensasinya, akan ada Bantuan langsung Tunai (BLT) ke masyarakat miskin.
Sumber : http://finance.detik.com/read/2012/03/16/181251/1869527/4/megawati-blt-bikin-masyarakat-bermental-pengemis
Komentar :
Sebagai suatu program dan kebijakan nasional, program BLT mempunyai latar belakang pelaksanaan yang sistimatis, baik secara deskriptif analisis kondisional maupun deskriptif operasional perundang-undangan. Dari sudut deskriptif analisis kondisional dapat dikatakan bahwa program BLT adalah wujud dari hasil sebuah pergumulan klasik di seluruh pemerintahan negara-negara seperti Indonesia.
Dimana kemiskinan adalah suatu masalah yang sangat penting dan genting untuk diperhatikan dan ditangani secara serius. Menurut data penelitian lembaga SMERU (suatu lembaga penelitian independen terhadap kebijakan-kebijakan publik di Indonesia) yang berkedudukan di Jakarta, jumlah orang miskin di Indonesia sampai dengan tahun 2005 adalah 22% dari total penduduk Indonesia, berarti ada 45 juta orang miskin. Dimana stantar yang dipakai oleh SMERU dalam mengukur garis kemiskinan adalah Rp.112/kapita/bulan. Sebuah ukuran setelah adanya kenaikkan BBM pada tanggal 1 Oktober 2005. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alasan utama program BLT adalah alasan yang prioritas dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, dimana jumlah orang miskin mencapai ¼ lebih dari seluruh total penduduk Indonesia.
Secara operasional perundang-undangan sebagai dasar pijak pelaksanaan program BLT adalah sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kurun waktu 2004-2009, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, yang diantaranya memuat target penurunan angka kemiskinan dari 16,7% pada tahun 2004 menjadi 8,2% pada tahun 2009. Dimana target tersebut dianggap tercapai jika daya beli penduduk terus ditingkatkan dan dikembangkan secara berkelanjutan. Wujud nyata dari orientasi RPJM ini dan didorong oleh membengkaknya subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) akibat dari meningkatnya harga minyak mentah di pasar Internasional, yang tentu pula mempengaruhi harga BBM dalam negeri sejak awal Maret 2005, kemudian mempengaruhi juga kenaikkan harga barang-barang pokok sehari-hari (Sembako), yang pada gilirannya memperlemah daya beli masyarakat, maka lahirlah Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 12 Tahun 2005, tentang “Bantuan Langsung Tunai kepada rumah tangga-rumah tangga miskin”, yang dikeluarkan pada tanggal 10 September 2005. Dimana pembahasan lebih lanjut pada taraf pelaksanaannya melalui Rapat koordinasi (Rakor) tingkat Menteri pada tanggal 16 September 2005, yang memandang bahwa pelaksanaan BLT sudah siap dilaksanakan, maka berlangsunglah program ini pada bulan Oktober 2005.
SARAN :
Pola kebijakan pemerintahan seperti yang termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), yang mengedepankan upaya peningkatan daya beli masyarakat sebagai tujuan menjawab problem kemiskinan di Indoensia, yang kemudian melahirkan program BLT adalah sebuah pendekatan pemecahan problem kemiskinan yang sangat parsial, dan karena itu hanya mempersempit sebuah problem kemiskinan yang sebenarnya sangat luas jangkauannya.
Ukuran dan standar sebuah kemiskinan adalah sesuatu yang sangat sulit untuk ditetapkan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya dimensi yang mempengaruhi problem kemiskinan itu, baik secara ekonomi, politik, sosial, budaya maupun religius. Karena itu, usaha-usaha penetapan suatu standar kemiskinan yang kuantitatif adalah sesuatu yang sangat mustahil untuk dibuat.
Walaupun begitu ukuran-ukuran yang ditetapkan berdasarkan suatu dimensi kehidupan itu, adalah sangat penting pula. Dimana hal itu dapat menjadi sumber data yang dapat dipergunakan untuk diskursus problem kemiskinan secara holistik dan komprehensif.
Oleh karena itu upaya-upaya pemecahan problem kemiskinan dalam bangsa ini adalah juga tugas dan tanggung jawab tokoh agama dan seluruh lapisan masyarakat yang ada di wilayah Negara Republik Indonesia. Kehidupan keagamaan yang tidak mempedulikan problem kemiskinan adalah suatu kehiduan agama yang lupa pada realitas sosialnya, bahkan lebih jauh dari itu lupa pada hakekatnya sendiri.
Akhirnya pengalaman realisasi program BLT di Indonesia yang mengandung banyak cacat nilai itu, harus menjadi suatu pengalaman yang berharga untuk segala kebijakan pemerintah di masa depan agar menjadi lebih baik dan lebih menyentuh akar-akar persoalan dari problem kemiskinan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar